Jakarta, KompasOtomotif – Dari Shell Eco-Marathon
Asia, kita bisa membuka mata bahwa bangsa ini dapat menciptakan
kendaraan alternatif yang sangat efisien. Itulah yang harus dilakukan
oleh 18 tim mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Sebagai
contoh, mobil prototipe karya Politeknik TEDC Bandung yang akan
dilombakan, konsumsi bahan bakarnya ditargetkan 2.000 km per liter
bensin (mobil tidak harus menempuh jarak 2.000 km). Sedangkan Cikal
Diesel - mobil kota bermesin diesel dari Institut Teknologi Bandung
(ITB) - menargetkan konsumsi biodiesel 180 km/liter
Tak kalah
penting, para mahasiswa tersebut (dibimbing langsung oleh dosen), juga
dituntut menciptakan mobil energi alternatif seperti etanol, listrik dan
hidrogen.
Lantas apa tanggapan mahasiswa dari perguruan tinggi
di atas dengan tantangan dari Shell? Felix, perwakilan tim Cikal Diesel
ITB menyatakan bahwa
bioenergy seharusnya sudah bisa diterapkan di Indonesia.
”Tujuan kami menciptakan Cikal Diesel ini untuk menerapkan teori
selama kuliah dan ikut lomba. Tetapi, lebih dari itu, kami para
mahasiswa teknik sebenarnya ingin teknologi diciptakan oleh orang-orang
Indonesia dapat dimanfaatkan," jelasnya.
Masih dari Bandung, tim
Rakata menciptakan mobil berbahanbakar etanol, juga menyatakan hal
senada. ”Di Brazil, etanol sudah banyak digunakan. Kami ingin
mengenalkan bahan bakar ini sebagai alternatif dan segera bisa
diproduksi di Indonesia,” ujar Habib Suryo, manajer tim.
MenguapKeinginan
mereka jauh dari kenyataan. Contohnya, langkah yang diambil Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menerapkan Peraturan
Menteri ESDM No. 25/ 2013 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata
Niaga BBN, realisasinya terus menguap.
Dalam peraturan ini,
disebutkan keharusan penyedia bahan bakar harus mencampur bahan bakar
nabati (BBN) dengan bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi untuk
transportasi (mencampur bioetanol 1 persen pada BBM nonsubsidi).
Seharusnya, aturan ini mulai berlaku 1 September 2013.
PT Shell
Indonesia (SI) sebagai salah satu penyedia bahan bakar, sebenarnya
menyatakan kesiapannya jika memang harus demikian. Dikatakan Inggita
Notosusanto, Communication Manager SI, kendala di lapangan cukup banyak
antara lain elemen dari hulu hingga hilir untuk menyiapkan bahan baku
bioenergy.
”Tentang
energi masa depan, kami senantiasa mencari ke arah sana. Kami yakin
tidak akan terlalu lama bisa diterapkan, terutama untuk etanol dan
biodiesel. Penjajakan dan kerjasama terus dilakukan. Sekarang kami yang
balik bertanya, bagaimana dengan kesiapan industri?” ujar Inggita.
Tak
hanya jalur distribusi pasokan bahan baku nabati, Inggita mengaku
khawatir dengan industri otomotif. Pasalnya, pelaku industri harus
menyesuaikan diri bila bahan bakar baru harus digunakan. Bila tidak,
akibat menggunakan bahan bakar alternatif tersebut garansi bisa hilang.